Mataram, 12 September 2025 - Dalam kehidupan bernegara, masalah korupsi menjadi tantangan utama yang dialami hampir semua negara, termasuk Indonesia. Korupsi dikategorikan sebagai extra ordinary crime karena tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga menghambat pembangunan sosial, ekonomi, hingga politik. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, terdapat tujuh kategori besar korupsi, salah satunya adalah gratifikasi. Meski istilah ini belum sepenuhnya familiar di masyarakat, regulasi menegaskan bahwa gratifikasi dapat dianggap sebagai suap bila berhubungan dengan jabatan serta bertentangan dengan kewajiban atau tugas seorang pejabat.
Aturan mengenai gratifikasi lahir untuk menutup celah penyalahgunaan wewenang, khususnya dalam pelayanan publik. Namun, penerapannya tidak selalu berjalan mulus karena kuatnya budaya ketimuran di Indonesia yang menganggap pemberian hadiah sebagai wujud penghormatan dan silaturahmi. Nilai budaya ini sering dijadikan alasan oleh sebagian pegawai negeri untuk menerima hadiah, meskipun jelas terkait dengan jabatan mereka. Akibatnya, budaya memberi yang awalnya murni berubah menjadi praktik yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan.
Situasi ini semakin rawan di lingkungan pemasyarakatan. Lapas dan Rutan, yang menjalankan fungsi pelayanan serta pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP), berinteraksi langsung dengan keluarga, instansi pemerintah, maupun pengawas internal dan eksternal. Interaksi tersebut membuka peluang terjadinya gratifikasi, bahkan dalam bentuk pemberian kecil sekalipun. Dari sisi hukum, yang dinilai bukan besarnya hadiah, melainkan maksud, konteks, dan pengaruhnya terhadap integritas tugas.
Persimpangan antara budaya memberi dan integritas hukum tampak jelas dalam kegiatan seremonial. Misalnya, pemberian cinderamata hasil karya WBP kepada tamu atau auditor. Dari sisi budaya, hal ini dianggap wajar dan positif sebagai promosi produk pembinaan. Namun, secara hukum berpotensi menimbulkan konflik kepentingan serta mengganggu objektivitas pengawasan. Perbedaan tafsir inilah yang menegaskan perlunya batas tegas antara pemberian sukarela yang sah menurut budaya dengan gratifikasi yang harus ditolak atau dilaporkan.
Permenkumham Nomor 58 Tahun 2016 mengatur gratifikasi yang wajib maupun tidak wajib dilaporkan. Namun, aturan ini menyisakan celah hukum, seperti penyalahgunaan kategori “tidak wajib lapor” atau penilaian subjektif tentang kewajaran hadiah. Untuk menutup celah tersebut, solusi ideal adalah mewajibkan semua bentuk pemberian dilaporkan melalui Unit Pengendalian Gratifikasi (UPG). Meski menimbulkan risiko overload laporan, mekanisme ini akan memperkuat transparansi dan budaya anti korupsi. Delegasi kewenangan terbatas dari KPK kepada UPG juga dapat menjadi solusi agar efisiensi birokrasi tetap terjaga.
Di sisi lain, penguatan kapasitas UPG menjadi kunci penting. Anggota UPG perlu dibekali keterampilan teknis, pemahaman hukum, hingga kemampuan komunikasi dan mediasi, agar mampu membedakan pemberian sukarela dan gratifikasi secara tepat. Dengan begitu, UPG tidak sekadar berperan administratif, tetapi juga menjadi motor perubahan budaya hukum di lingkungan pemasyarakatan.
Akhirnya, integritas pegawai Kemenimipas harus diperkuat melalui internalisasi nilai PRIMA (Profesional, Integritas, Akuntabel, Responsif, Modern). Nilai ini menjadi kompas moral untuk menolak gratifikasi, melaporkan pemberian, menjaga transparansi, serta memanfaatkan teknologi dalam pengawasan. Dengan berpegang pada nilai PRIMA, budaya memberi tetap dihormati sebagai bagian dari tradisi, namun diselaraskan dengan prinsip akuntabilitas. Pada akhirnya, langkah ini akan melahirkan birokrasi yang bersih, profesional, dan dipercaya masyarakat.
@jadiadmin