Over Kapasitas TPA Regional Kebon Kongok! Landfill Baru, Polusi Udara dan Pencemaran Air, Kapan NTB Bisa Sustainable Waste Management? - Pangeran Apriyono Subirto, S.TP.

 


Karang Bongkot, 09 Mei 2025 - Masalah sampah di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) telah mencapai titik krisis. TPA Regional Kebon Kongok di Lombok Barat, yang menjadi tempat pembuangan akhir utama bagi dua kabupaten/kota sekaligus, yakni Mataram dan Lombok Barat kini menghadapi kondisi over kapasitas yang kritis. Beroperasi sejak 2007, kapasitas maksimal 900.000 m³ yang dimiliki TPA ini telah lama terlampaui. Solusi darurat berupa pembangunan landfill baru di Zona 2B kembali digagas. Namun, muncul pertanyaan penting: apakah pembangunan landfill baru benar-benar solusi jangka panjang, atau hanya menunda krisis?


Landfill Zona 2B dirancang untuk menampung tambahan sampah dalam beberapa tahun ke depan. Namun, model pengelolaan ini masih bergantung pada metode open dumping atau sanitary landfill konvensional yang tidak menyelesaikan akar masalah: produksi sampah yang tidak terkendali, rendahnya tingkat daur ulang, dan minimnya kesadaran masyarakat. Lebih dari 300 ton sampah masuk ke TPA Kebon Kongok setiap harinya, sebagian besar berupa sampah organik dan anorganik bercampur yang sulit untuk diproses kembali. Alih-alih menciptakan sistem yang mendorong pemilahan sejak dari sumber, pembangunan landfill baru seolah menjadi simbol kegagalan pemerintah daerah dalam beralih ke sistem sustainable waste management yang holistik.


TPA Kebon Kongok bukan hanya menghadirkan persoalan kapasitas, tetapi juga dampak lingkungan yang mengkhawatirkan. Bau menyengat dari gas metana yang dihasilkan oleh tumpukan sampah organik memperburuk kualitas udara di sekitar. Belum lagi pencemaran air tanah dan sungai akibat rembesan (leachate) yang belum ditangani secara maksimal. Padahal, banyak warga menggantungkan kebutuhan air dari sumber-sumber alami yang semakin terkontaminasi. Ironisnya, pembangunan landfill baru di zona 2B berpotensi memperluas dampak ini jika tidak disertai dengan teknologi pengelolaan leachate dan gas metana yang memadai. Masalah ini bukan lagi tentang penanganan teknis, tetapi soal keberpihakan terhadap masa depan lingkungan dan kesehatan publik.


Pemerintah daerah perlu bergeser dari paradigma “buang dan timbun” ke sistem 3R (Reduce, Reuse, Recycle). Ini mencakup peningkatan kapasitas TPS3R (Tempat Pengolahan Sampah Reduce-Reuse-Recycle), penguatan edukasi publik, serta pelibatan sektor swasta dalam inovasi pengelolaan sampah berbasis teknologi. Membangun landfill baru bukanlah dosa, namun menjadikannya satu-satunya solusi adalah keliru. NTB memerlukan keberanian politik, inovasi kebijakan, dan partisipasi aktif masyarakat untuk bertransformasi dari krisis sampah menuju tata kelola yang berkelanjutan. Sebab jika tidak, kapan NTB akan benar-benar bebas dari ancaman lingkungan akibat sampah? Jawabannya bukan pada tumpukan landfill, tapi pada sistem yang menyentuh akar: manusia dan kesadarannya.


@jadiupdate

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama